Hikmah Larangan Jual Beli Saat Shalat
Jumat
Apa
ada hikmah dari larangan jual beli saat shalat Jumat?
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى
ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru
untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah
dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Jumu’ah: 9).
Syaikh
As Sa’di rahimahullah menerangkan
bahwa larangan di sini adalah untuk jual beli padahal hati begitu tertarik
sekali untuk melakukannya. Untuk pekerjaan lainnya yang juga melalaikan hati
dari ibadah, itu pun diperintahkan untuk ditinggalkan.
Hikmah
dari meninggalkan larangan jual beli disebutkan dalam ayat di atas,
ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ
إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.” (QS. Al Jumu’ah: 9).
Syaikh
As Sa’di menerangkan mengenai ayat di atas, “Ayat tersebut menunjukkan akan
hikmah besar dari meninggalkan larangan. Kebaikan yang diperoleh karena
menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya dengan menyibukkan diri dengan
aktivitas ibadah shalat Jumat. Shalat Jumat ini adalah kewajiban yang sangat
penting. Kita diperintahkan untuk meraih kebaikan dan pahala di dalamnya. …. Di
antara hikmah penting dari menghadiri shalat Jumat adalah kita diperintahkan
untuk mendahulukan urusan akhirat dibandingkan dengan urusan dunia.”
Beliau
rahimahullah juga menerangkan, “Di antara bentuk kebaikan yang diraih dari
menghadiri shalat Jumat dan meninggalkan jual beli kala itu, di situ ada bentuk
mendahulukan perintah Allah daripada hawa nafsu kita. Dengan demikian, itu
tanda benarnya iman orang tersebut. Tanda bahwa orang tersebut benar-benar
ingin kembali pada Rabbnya. Dan tentu saja siapa yang meninggalkan
sesuatu karena Allah, maka akan diganti dengan yang lebih baik. Sedangkan, siapa yang mendahulukan hawa nafsunya
dari ketaatan pada Allah, sungguh ia benar-benar rugi dalam urusan akhiratnya.
Ditambah, ia pun akan merasakan rugi di dunia. Nah itulah yang menjadi
keutamaan yang besar bagi siapa saja yang meninggalkan urusan dunia hingga
shalat Jumat selesai.” (Taisirul
Lathifil Mannan, hal. 139).
Syaikh
As Sa’di di kitab lain menuturkan, “Sesuatu di sisi Allah tentu lebih baik dan
lebih kekal. Karenanya jika seseorang mendahulukan urusan dunia daripada urusan
ibadahnya, tentu ia benar-benar merugi. Jika ada yang melanjutkan jual beli
saat shalat Jumat, ia sangka akan raih keuntungan, namun sebenarnya yang ada
adalah kerugian yang nyata.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 863).
Hanya
Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Pergi Shalat Jumat dalam Keadaan Tenang
Pergi
Shalat Jumat diperintahkan dalam keadaan tenang dan tidak tergesa-gesa.
Allah Ta’ala memerintahkan kepada
orang beriman untuk menghadiri shalat Jumat dan bersegera melakukannya.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى
ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru
untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah
dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Jumu’ah: 9).
Syaikh
As Sa’di rahimahullah menerangkan
bahwa yang dimaksud dengan “as
sa’yu” adalah bersungguh-sungguh untuk menuju
shalat Jumat dan tidak menyibukkan diri dengan hal lainnya. Di sini yang
dimaksudkan bukanlah berlari-lari menuju shalat Jumat. Tetap yang diperintahkan
adalah pergi shalat Jumat dalam keadaan yang tenang. (Taisirul Lathifil Mannan, hal. 138).
Sama
halnya dikatakan oleh Imam Nawawi bahwa yang dimaksud dengan “fas’au ilaa
dzikrillah” adalah pergi untuk melaksanakan shalat Jumat sebagaimana disebutkan
dalam Syarh Shahih Muslim, 5: 88. Jadi bukan yang dimaksud adalah cepat-cepat.
Perintah
bersikap bahkan tetap ada meskipun telat dalam shalat berjamaah sebagaimana
disebutkan dalam hadits berikut,
إِذَا سَمِعْتُمُ
الإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ ، وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ
وَالْوَقَارِ وَلاَ تُسْرِعُوا ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ
فَأَتِمُّوا
“Jika kalian mendegar iqamah, maka
berjalanlah menuju shalat. Namun tetaplah tenang dan khusyu’ menuju shalat,
jangan tergesa-gesa. Apa saja yang kalian dapati dari imam, maka ikutilah.
Sedangkan yang luput dari kalian, maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari no. 636 dan Muslim no. 602).
Imam
Nawawi rahimahullah berkata,
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk mendatangi shalat dalam keadaan tenang
dan tidak tergesa-gesa, di sini pun termasuk dalam shalat Jumat maupun shalat
lainnya, baik saat itu khawatir akan luput dari takbiratul ihram bersama imam
ataukah tidak.” (Syarh
Shahih Muslim, 5: 88)
Apa
hikmahnya pergi shalat dalam keadaan tenang dan larangan tergesa-gesa? Karena
berangkat menuju masjid sudah terhitung berada dalam shalat sebagaimana
disebutkan dalam hadits lainnya dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِذَا ثُوِّبَ لِلصَّلاَةِ
فَلاَ تَأْتُوهَا وَأَنْتُمْ تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا وَعَلَيْكُمُ السَّكِينَةُ
فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا فَإِنَّ أَحَدَكُمْ
إِذَا كَانَ يَعْمِدُ إِلَى الصَّلاَةِ فَهُوَ فِى صَلاَةٍ
“Jika engkau hendak pergi shalat, maka
datangilah dalam keadaan tidak tergesa-gesa. Hendaklah bersikap tenang. Apa saja yang kalian dapati dari imam,
maka ikutilah. Sedangkan yang luput dari kalian, maka sempurnakanlah. Karena
salah seorang di antara kalian menuju shalat sudah terhitung berada dalam
shalat” (HR. Muslim no. 602).
Ibnu
Hajar menyebutkan hikmah lainnya kenapa tidak boleh tergesa-gesa menuju shalat.
Jika seseorang tergesa-gesa, maka ia akan membaca surat tidak dengan penuh
kekhususan. Beda halnya jika ia mendatangi shalat jauh-jauh sebelumnya, ada
waktu untuknya untuk rehat. Lihat Fathul Bari,
2: 117.
Semoga
bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.
0 komentar:
Post a Comment