Thursday 21 May 2015

Membayar Utang (Qodho’) Puasa Ramadhan



Berbagai permasalahan qodho’ puasa (membayar utang atau nyaur puasa) masih belum dipahami oleh sebagian kaum muslimin. Oleh karena itu, pembahasan ini sangat menarik jika kami ketengahkan. Semoga bermanfaat.
Yang dimaksud dengan qodho’ adalah mengerjakan suatu ibadah yang memiliki batasan waktu di luar waktunya.[1] Untuk kasus orang sakit misalnya, di bulan Ramadhan seseorang mengalami sakit berat sehingga tidak kuat berpuasa. Sesudah bulan Ramadhan dia mengganti puasanya tadi. Inilah yang disebut qodho’.

Orang yang Diberi Keringanan untuk Mengqodho’ Puasa

Ada beberapa golongan yang diberi keringanan atau diharuskan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan mesti mengqodho’ puasanya setelah lepas dari udzur, yaitu:
Pertama, orang yang sakit dan sakitnya memberatkan untuk puasa. Dimisalkan ini pula adalah wanita hamil dan menyusui apabila berat untuk puasa.
Kedua, seorang musafir dan ketika bersafar sulit untuk berpuasa atau sulit melakukan amalan kebajikan.
Ketiga, wanita yang mendapati haidh dan nifas.
Dalil golongan pertama dan kedua adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Dalil wanita haidh dan nifas adalah hadits dari ‘Aisyah, beliau mengatakan,
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan untuk mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.[2]

Adakah Qodho’ bagi Orang yang Sengaja Tidak Puasa?

Yang dimaksud di sini, apakah orang yang sengaja tidak puasa diharuskan mengganti puasa yang sengaja ia tinggalkan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa siapa saja yang sengaja membatalkan puasa atau tidak berpuasa baik karena ada udzur atau pun tidak, maka wajib baginya untuk mengqodho’ puasa.[3]
Namun ada ulama yang memiliki pendapat yang berbeda. Ibnu Hazm dan ulama belakangan seperti Syaikh Muhammad bin  Sholih Al Utsaimin berpendapat bahwa bagi orang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada udzur, tidak wajib baginya untuk mengqodho’ puasa. Ada kaedah ushul fiqih yang mendukung pendapat ini: “Ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan akhir, apabila seseorang meninggalkannya tanpa udzur (tanpa alasan), maka tidak disyariatkan baginya untuk mengqodho’ kecuali jika ada dalil baru yang mensyariatkannya”.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin memaparkan pula kaedah di atas: “Sesungguhnya ibadah yang memiliki batasan waktu (awal dan akhir), apabila seseorang mengerjakan ibadah tersebut di luar waktunya tanpa ada udzur (alasan), maka ibadah tadi tidaklah bermanfaat dan tidak sah.”
Syaikh rahimahullah kemudian membawakan contoh. Misalnya shalat dan puasa. Apabila seseorang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar waktunya, lalu jika dia bertanya, “Apakah aku  wajib mengqodho’ (mengganti) shalatku?” Kami katakan, “Engkau tidak wajib mengganti (mengqodho’) shalatmu. Karena hal itu sama sekali tidak bermanfaat bagimu dan amalan tersebut akan tidak diterima.
Begitu pula apabila ada seseorang yang tidak berpuasa sehari di bulan Ramadhan (dengan sengaja, tanpa udzur, -pen),  lalu dia bertanya pada kami, “Apakah aku wajib untuk mengqodho’ puasa tersebut?” Kami pun akan menjawab, “Tidak wajib bagimu untuk mengqodho’ puasamu yang sengaja engkau tinggalkan hingga keluar waktu karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.[4]
Seseorang apabila mengakhirkan ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan akhir dan mengerjakan di luar waktunya, maka itu berarti dia telah melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut adalah amalan yang batil dan tidak ada manfaat sama sekali.”
Mungkin ada yang ingin menyanggah penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin di atas dengan mengatakan, “Lalu kenapa ada qodho’ bagi orang yang memiliki udzur seperti ketiduran atau lupa? Tentu bagi orang yang tidak memiliki udzur seharusnya lebih pantas ada qodho’, artinya lebih layak untuk mengganti shalat atau puasanya.”
Syaikh Ibnu Utsaimin –alhamdulillah- telah merespon perkataan semacam tadi. Beliau rahimahullahmengatakan, “Seseorang yang memiliki udzur, maka waktu ibadah untuknya adalah sampai udzurnya tersebut hilang. Jadi, orang seperti ini tidaklah mengakhirkan ibadah sampai keluar waktunya. Oleh karena itu, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bagi orang yang lupa shalat, “Shalatlah ketika dia ingat”.
Adapun orang yang sengaja meninggalkan ibadah hingga keluar waktunya lalu dia tunaikan setelah itu, maka dia berarti telah mengerjakan ibadah di luar waktunya. Oleh karena itu, untuk kasus yang kedua ini, amalannya tidak diterima.”[5]
Lalu jika seseorang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada udzur di atas tidak perlu mengqodho’, lalu apa kewajiban dirinya? Kewajiban dirinya adalah bertaubat dengan taubat nashuha dan hendaklah dia tutup dosanya tersebut dengan melakukan amalan sholih, di antaranya dengan memperbanyak puasa sunnah.
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Amalan ketaatan seperti puasa, shalat, zakat dan selainnya yang telah lewat (ditinggalkan tanpa ada udzur), ibadah-ibadah tersebut tidak ada kewajiban qodho’, taubatlah yang nanti akan menghapuskan kesalahan-kesalahan tersebut. Jika dia bertaubat kepada Allah dengan sesungguhnya dan banyak melakukan amalan sholih, maka itu sudah cukup daripada mengulangi amalan-amalan tersebut.”[6]
Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman mengatakan, “Pendapat yang kuat, wajib baginya untuk bertaubat dan memperbanyak puasa-puasa sunnah, dan dia tidak memiliki kewajiban kafaroh.”[7]
Itulah yang harus dilakukan oleh orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa ada udzur. Yaitu dia harus bertaubat dengan ikhlash (bukan riya’), menyesali dosa yang telah dia lakukan, kembali melaksanakan puasa Ramadhan jika berjumpa kembali, bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan, dan taubat tersebut dilakukan sebelum datang kematian atau sebelum matahari terbit dari sebelah barat.Semoga Allah memberi taufik.

Qodho’ Ramadhan Boleh Ditunda

Qodho’ Ramadhan boleh ditunda, maksudnya tidak mesti dilakukan setelah bulan Ramadhan yaitu di bulan Syawal. Namun boleh dilakukan di bulan Dzulhijah sampai bulan Sya’ban, asalkan sebelum masuk Ramadhan berikutnya. Di antara pendukung hal ini adalah ‘Aisyah pernah menunda qodho’ puasanya  sampai bulan Sya’ban.
Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ
“Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban.” Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan ‘Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[8]
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengundurkan qodho’ Ramadhan baik mengundurkannya karena ada udzur atau pun tidak.”[9]
Akan tetapi yang dianjurkan adalah qodho’ Ramadhan dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala yang memerintahkan untuk bersegera dalam melakukan kebaikan,
أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minun: 61)

Mengakhirkan Qodho’ Ramadhan Hingga Ramadhan Berikutnya

Hal ini sering dialami oleh sebagian saudara-saudara kita. Ketika Ramadhan misalnya, dia mengalami haidh selama 7 hari dan punya kewajiban qodho’ setelah Ramadhan. Setelah Ramadhan sampai bulan Sya’ban, dia sebenarnya mampu untuk membayar utang puasa Ramadhan tersebut, namun belum kunjung dilunasi sampai Ramadhan tahun berikutnya. Inilah yang menjadi permasalahan kita, apakah dia memiliki kewajiban qodho’ puasa saja ataukah memiliki tambahan kewajiban lainnya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa bagi orang yang sengaja mengakhirkan qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia cukup mengqodho’ puasa tersebut disertai dengan taubat. Pendapat ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Hazm.
Namun, Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i mengatakan bahwa jika dia meninggalkan qodho’ puasa dengan sengaja, maka di samping mengqodho’ puasa, dia juga memiliki kewajiban memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang belum diqodho’. Pendapat inilah yang lebih kuat sebagaimana difatwakan oleh beberapa sahabat seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz –pernah menjabat sebagai ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa Saudi Arabia)- ditanyakan, “Apa hukum seseorang yang meninggalkan qodho’ puasa Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya dan dia tidak memiliki udzur untuk menunaikan qodho’ tersebut. Apakah cukup baginya bertaubat dan menunaikan qodho’ atau dia memiliki kewajiban kafaroh?”
Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Dia wajib bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qodho’ puasanya. Ukuran makanan untuk orang miskin adalah setengah sha’ Nabawi dari makanan pokok negeri tersebut (kurma, gandum, beras atau semacamnya) dan ukurannya adalah sekitar 1,5 kg sebagai ukuran pendekatan. Dan tidak ada kafaroh (tebusan) selain itu. Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Namun apabila dia menunda qodho’nya karena ada udzur seperti sakit atau bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqodho’ puasanya.”[10]
Kesimpulan: Bagi seseorang yang dengan sengaja menunda qodho’ puasa Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia memiliki kewajiban: (1) bertaubat kepada Allah, (2) mengqodho’ puasa, dan (3) wajib memberi makan (fidyah) kepada orang miskin, bagi setiap hari puasa yang belum ia qodho’. Sedangkan untuk orang yang memiliki udzur (seperti karena sakit atau menyusui sehingga sulit menunaikan qodho’), sehingga dia menunda qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia tidak memiliki kewajiban kecuali mengqodho’ puasanya saja.

Tidak Wajib Untuk Berurutan Ketika Mengqodho’ Puasa

Apabila kita memiliki kewajiban qodho’ puasa selama beberapa hari, maka untuk menunaikan qodho’ tersebut tidak mesti berturut-turut. Misal kita punya qodho’ puasa karena sakit selama lima hari, maka boleh kita lakukan qodho’ dua hari pada bulan Syawal, dua hari pada bulan Dzulhijah dan sehari lagi pada bulan Muharram. Dasar dibolehkannya hal ini adalah,
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqodho’ puasa) tidak berurutan”.[11]
Semoga sajian ini bermanfaat.

Monday 18 May 2015

Rahasia Dibalik Ciuman


Kecupan sayang ternyata memberi dampak yang luar biasa dalam prestasi dan menahan emosi dsb..
Dikisahkan, bahwa Abu Hurairah berjalan keluar bersama Rasulullah SAW. Selama di perjalanan, Rasululullah SAW tidak berbicara dengan Abu Hurairah, begitu pun sebaliknya, Abu Hurairah pun tidak berbicara dengan Rasulullah SAW. Ketika sampai di pasar Bani Qainuqa, Rasulullah duduk di perkarangan rumah Fatimah, lalu berkata: Apakah terdapat anak-anak di sana? Tidak lama kemudian, datanglah seorang anak kecil menghampiri Rasulullah, lalu Rasulpun memeluk dan menciumnya sambil berdoa:“Ya Allah …! sayangilah dia dan sayangi pula orang yang menyayanginya”. (H.R. Bukhari)
Alangkah indahnya jika sebuah rumah dihiasi oleh cinta dan kasih sayang. Cinta yang tumbuh dari seorang anak kepada orang tuanya, dan sebaliknya, kasih sayang yang lahir dari orang tua kepada anaknya.
Betapa mencekamnya, jika sebuah rumah tidak dihiasi oleh cinta dan kasih sayang. Dia bagaikan neraka dunia. Tak ada percik cinta dan kasih sayang didalamnya, yang menjadikan hidupnya menjadi gersang bagaikan padang pasir yang tandus.
Oleh karena itu, berbahagialah mereka yang telah mendapatkan cinta dan kasih sayang di rumah. Karena rumah merupakan tempat untuk menemukan arti cinta yang sesungguhnya.
Cinta seringkali diekpresikan lewat ciuman. Seorang suami, sering mencium istrinya disaat dirinya akan berangkat ke kantor. Seorang ibu yang mencintai anaknya, dia seringkali mencium anaknya ketika akan tidur atau ketika akan berangkat ke sekolah.
Rasulullah saw adalah sosok yang paling sering memberikan ciuman dan belaian kepada anak-anak. Pada suatu hari, datang seorang kepala suku mengunjungi nabi dan melihat beliau sedang mencium cucunya. Dia (kepala suku) mengatakan kepada Nabi SAW, “saya mempunyai sepuluh orang anak, seorang di antara mereka tidak pernah saya cium.” Kemudian Rasulullah saw menjawab, “Kalau Allah tidak memberikanmu perasaan kasih sayang, apa yang dapat diperbuat-Nya untuk kamu?, Barangsiapa yang tidak mempunyai kasih sayang pada orang lain, dia tidak akan mendapatkan kasih sayang dari Allah SWT”. (H.R. Bukhari)
Dari peristiwa di atas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya wujud kasih sayang seorang ayah kepada anaknya tidak hanya dalam bentuk pemenuhuan kebutuhan materi saja, tetapi juga diperlukan sentuhan-sentuhan halus dari tangan seorang bapak.
Bahkan, sentuhan kasih sayang dan ciuman kepada seorang anak tidak hanya menunjukkan kecintaan seorang ayah kepada anaknya, tetapi juga bisa mengantarkan seorang ayah menjadi ahli surga. Suatu ketika Nabi Muhammad SAW. bersabda: “Perbanyaklah kamu mencium anak cucumu, karena imbalan dari setiap ciuman adalah surga”. (H.R. Bukhari)
Pemberian kasih sayang amatlah penting bagi perkembangan anak. Rasa kasih sayang yang dicurahkan oleh orang-orang di sekeliling anak merupakan dasar pembentukan watak si anak kelak. Ungkapan kasih sayang bukanlah hal yang boleh diremehkan. Namun bukan hal yang mustahil bila orang tua tidak terbiasa mengungkapkan rasa kasih sayangnya.
Hadis-hadis di atas dengan jelas mengajarkan kepada kita bahwa ciuman memiliki peranan penting dalam membangkitkan perasaan dan emosi anak, bahkan selain itu mampu meredakan perasaan amarahnya, dan menambah eratnya hubungan dan cinta dengan orang tuanya. Bagi anak, hal ini adalah suatu bukti rasa kasih sayang kedua orang tuanya. Seorang ibu atau bapak yang mencium anaknya membuktikan adanya perhatian terhadap anaknya.
Ciuman bukan hanya dianjurkan bagi orang tua kepada anak-anaknya, namun dianjurkan pula bagi pasangan suami – istri. Ketika suami akan berangkat kerja, maka dia harus mencium istrinya terlebih dahulu, begitu pun sebaliknya, ketika istrinya mau keluar rumah, maka suami pun harus mencium istrinya terlebih dahulu.
Karena Rasulullah selalu mencium istrinya setiapkali mau pergi ke masjid. Hal ini pernah disampaikan oleh Siti Aisyah melalui haditsnya, “Bahwa Nabi saw biasa mencium istrinya setelah wudhu, kemudian beliau shalat (di masjid).” (H.R. Abdur-Razaq) .
Hadits tersebut merupakan isyarat bagi kita, betapa pentingnya seorang suami maupun istri untuk selalu mencium pasangannya, sekalipun keluar rumahnya hanya beberapa saat. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga cinta dan kasih diantara mereka berdua.
Banyak penelitian yang mengungkap tentang keajaiban ciuman. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh salah satu Lembaga Asuransi Kehidupan di Amerika tentang pengaruh ciuman terhadap kehidupan manusia, dan hasilnya adalah: ”Sesungguhnya ciuman di pagi hari antara suami – istri memegang peranan penting yang lebih menyembuhkan daripada buah apel.
Suami yang mencium istrinya di pagi hari sebelum menuju tempat kerjanya, akan merasa tenang saat bekerja. Ciuman lebih menenangkan atau menahan urat saraf, dan lebih mampu menghadapi kebimbangan. Di samping memberikan ketenangan pikiran dan kelapangan serta ketentraman, juga memberikan kepuasan dan kebahagiaan serta kerelaan.”
Selain itu, penelitin tentang ciuman juga dilakukan oleh Dr. Coolman kepada ribuan orang, dan hasilnya cukup menguatkan, bahwa ciuman di pagi hari melahirkan keistimewaan tertentu dan susunan kimiawi, seperti memberikan perasaan senang dan lapang yang berbeda dengan perasaan internalnya.”
Bahkan Bernie Siegel, baru-baru ini melakukan penelitian tentang ‘khasiat’ ciuman seorang istri bagi suaminya maupun seorang ibu bagi anak-anaknya. Sampel diambil dari kalangan peserta (suami) yang naik mobil pribadi untuk ke kantor dan dibagi dalam dua kelompok.
Kelompok pertama adalah para suami yang berangkat ke kantor dengan terlebih dahulu dicium oleh sang istri, dan kelompok kedua adalah mereka yang pergi ke kantor tanpa dicium oleh sang istri. Setelah beberapa waktu ditemukan bukti yang menakjubkan.
Suami yang pergi ke kantor dengan ciuman sang istri lebih memiliki kemungkinan kecil untuk mengalami kecelakaan di perjalanan daripada mereka yang berangkat kerja tanpa merasakan kecupan mesra dari sang istri.
Ternyata kualitas dan antusias bekerja pun mengalami perbedaan yng cukup signifikan. Kecupan tulus sang istri ketika memberangkatkan suami bekerja ternyata telah meminimalisir kemungkinan hadirnya WIL (Wanita Idaman Lain).
Di pihak lain, seorang anak yang diberangkatkan sekolah oleh sang ibu dengan kecupan sayang ternyata memberi dampak yang luar biasa dalam prestasi sekolahnya, bahkan kecupan tersebut mampu meredam kemarahan untuk tidak berkelahi di sekolah daripada mereka yang diberangkatkan oleh baby sitter (pembantu).
Percaya atau tidak, hal ini merupakan hasil suatu penelitian yang spektakuler mengenai ciuman sang ibu.
Wallaahu a’lam.

Romantisnya Rasulullah SAW


Buat para suami-suami, seringkali kita memperdebatkan dan memperbincangkan permasalahan yang berkaitan dengan kebahagiaan berumah tangga.
Seorang bapak (suami), pernah bertanya dalam sebuah dialog interaktif konsultasi keluarga di sebuah situs Islam lokal, tentang bagaimana mendapatkan kasih sayang dan pengabdian istri. Dan yang tidak kalah ‘heboh’, tidak sedikit pertanyaan yang ujung-ujungnya ingin melakukan poligami dengan berbagai alasan tentunya.
Poligami, jelas sangat diperbolehkan dan dicontohkan oleh baginda Rasul meski pun dalam tradisi dan budaya masyarakat kita, beristri lebih dari satu masih merupakan hal yang dianggap tidak lazim bahkan tabu.Namun sepertinya, ada hal yang sering terlupakan oleh para suami, sudahkah kita mencontoh Rasulullah dalam urusan romantisme berumah tangga? Sehingga Nabi SAW karena romantismenya yang luar biasa terhadap para istri beliau tidak pernah kita mendengar ada masalah yang besar dalam rumah tangga bersama para istrinya.
Jadi, untuk sementara kesampingkan dulu masalah seperti ketidakbahagiaan beristri yang usianya lebih tua, rumah tangga tidak harmonis, sehingga memunculkan wacana yang saat ini sedang ngetrend; poligami.
Padahal sesungguhnya jika kita mau merenunginya kembali, bisa jadi permasalahan utamanya sangat sederhana; kita kurang romantis!
Mari kemudian kita cermati tauladan dari Rasulullah, manusia agung yang sangat romantis terhadap istri-istrinya sebelum kita bicarakan niat atau kemungkinan untuk berpoligami.
Rasulullah SAW adalah contoh yang terbaik seorang suami yang mengamalkan sistem Poligami. Baginda Nabi sangat romantis kepada semua istrinya.
Dalam satu kisah diceritakan, pada suatu hari istri-istri Rasul berkumpul ke hadapan suaminya dan bertanya, “Diantara istri-istri Rasul, siapakah yang paling disayangi?”. Rasulullah SAW hanya tersenyum lalu berkata, “Aku akan beritahukan kepada kalian nanti”
Setelah itu, dalam kesempatan yang berbeda, Rasulullah memberikan sebuah kepada istri-istrinya masing-masing sebuah cincin seraya berpesan agar tidak memberitahu kepada istri-istri yang lain.
Lalu suatu hari hari para istri Rasulullah itu berkumpul lagi dan mengajukan pertanyaan yang sama. Lalu Rasulullah SAW menjawab, “Yang paling aku sayangi adalah yang kuberikan cincin kepadanya”. Kemudian, istri-istri Nabi SAW itu tersenyum puas karena menyangka hanya dirinya saja yang mendapat cincin dan merasakan bahwa dirinya tidak terasing.
Masih ada amalan-amalan lain yang bisa dilakukan untuk mendapatkan suasana romatis seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila pasangan suami istri berpegangan tangan, dosa-dosa akan keluar melalui celah-celah jari mereka”.
Rasulullah SAW selalu berpegangan tangan dengan Aisyah ketika di dalam rumah. Beliau acapkali memotong kuku istrinya, mandi janabat bersama, atau mengajak salah satu istrinya bepergian, setelah sebelumnya mengundinya untuk menambah kasih dan sayang di antara mereka.
Baginda Nabi SAW juga selalu memanggil istri-istrinya dengan panggilan yang menyenangkan dan membuat hati berbunga-bunga. “Wahai si pipi kemerah-merahan” adalah contoh panggilan yang selalu beliau ucapkan tatkala memanggil Aisyah.
Itulah sedikit contoh romantisme Rasulullah SAW yang dapat kita teladani dan praktekkan dalam kehidupan berumah tangga. Tentu, masih banyak contoh romantisme lainnya.
Kepada suami-suami yang baik, mulailah bersikap lembut dan berupaya membuat sang istri selalu mengembang senyumnya. Peganglah tangan istri anda setiap waktu, setiap kesempatan. Begitu pula para istri-istri yang sholehah, peganglah juga tangan suami anda untuk menghapuskan segala dosa-dosa.
Jadi, jika kita bisa meniru romantisme ala Rasul, sehingga istri pun membalas dengan yang tidak kalah romantisnya, masalah mana lagi yang sempat mampir dalam bahtera rumah tangga kita?
Ibarat kata, tidak ada makanan di rumah pun bisa diselesaikan berdua dengan tetap tersenyum, bukan begitu?
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari membaca notes ini
Silahkan SHARE ke rekan anda jika menurut anda notes ini bermanfaat

Sunday 17 May 2015

Ada Berdiri yang Terlarang


“Seorang guru SD paruh baya masuk kelas, dan spotan ketua kelas berteriak, “Siap beri hormat!”, maka para murid berdiri untuk untuk menghormati kedatangan gurunya”.
Mungkin inilah adat dan tradisi adab yang diajarkan kepada kita dan ditanamkan sejak kecil. Kemudian adab ini terus berlanjut, sehingga jika ada bos, pimpinan atau presiden datang menghadiri suatu pertemuan maka disambut dengan berdiri bahkan terkadang diiringi dengan tepuk tangan. Tahukah kita ternyata tradisi adab yang disangka mulia ini sangat bertentangan dengan islam. Mari kita telaah tentang hal ini.


Agama islam tidak menghapuskan semua adat dan tradisi
Sebagai pengantar pembahasan, sebaiknya kita tahu bahwa Agama islam sangat menghormati tradisi yang ada dimasyarakat. Apabila sesuai dengan ajaran islam maka adat dan tradisi tersebut dilestarikan bahkan menjadi patokan dalam hukum. sehingga ada kaidah dalam ushul fiqh,
العادة محكمة
“Adat dapat menjadi patokan dalam hukum”

Dan salah satu cabang kaidah ini,
استعمال الناس حجة يجب العمل بها
“Yang sering digunakan oleh manusia adalah hujjah wajib beramal dengannya”

Syaikh Dr. Muhammad Al-Burnu Hafizohulloh menjelaskan makna kaidah ini, Adat manusia jika tidak menyelisihi syari’at adalah hujjah dan dalil, wajib beramal dengan konsekuensinya karena adat dapat dijadikan hukum”. (Al-Wajiz fi idhohi qowa’idi fiqhil kulliyah hal 292, cetakan kelima, Muassasah Risalah)

Syaikh As-Sa’diy Rohimahullohu membawakan contoh kaidah, “Merujuk pada mahar “mistl” [yaitu mahar yang menjadi adat masyarakat] bagi orang yang wajib membayar mahar dan tidak menyebut mahar atau menyebut mahar yang faasidah/yang tidak sah” (Al-Qowa’idu wal ushulul jamia’ah hal 55, cetakan kedua, Darul Waton)

Dan masih banyak contoh adat dan tradisi yang terus dilestarikan oleh islam seperti memuliakan tamu, menebus nyawa dengan 100 ekor unta, perbudakan dan lain-lain. Beberapa adat dan tradisi di Indonesia yang sesuai dengan islam atau masih di tolelir dalam islam misalnya mahar yang tidak terlalu mahal [bandingkan dengan orang-orang Arab yang maharnya bisa sampai ratusan juta rupiah sehingga sangat susah jika ingin menikah] dan memakai sarung ketika sholat.

Haramnya berdiri untuk menghormati seseorang
Hal ini mendapat ancaman neraka, Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من أحب أن يمثل له الرجال قياما فليتبوأ مقعده من النار
“Barangsiapa yang suka seseorang berdiri untuknya, maka persiapkanlah tempat duduknya di neraka”. (HR. Abu Dawud: 5229, At-Tirmidzi: 2753, Ahmad 4/93, Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad :977dan Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahaan 1/219; dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Silsilah Shohihah I/627)

Syaikh Muhammad Lukman As-Salafi Rohimahullohu menjelaskan hadist ini, “ Dalam hadist ini terdapat larangan berdiri untuk menghormati seseorang yang masuk ke majelis, yaitu orang yang duduk berdiri tegak karena ada yang datang kepada mereka untuk memuliakan dan mengagungkannya”. (Rosyyul barod syarhu Adabil mufrod hal 525, cetakan pertama, Darud Da’i lin nasyri wat tauzi’)

Bahkan Rasulolloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam membencinya sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu , di mana ia berkata,
ما كان شخص أحب إليهم رؤية من النبي صلى الله عليه وسلم وكانوا إذا رأوه لم يقوموا إليه لما يعلمون من كراهيته لذلك
“Tidak ada seorang pun yang lebih mereka (para shahabat) cintai saat melihatnya selain Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Namun jika melihat beliau, mereka tidak pernah berdiri karena mereka mengetahui kebencian beliau atas hal itu”. (HR. Al-Bukhari Al-Adabul-Mufrad: 946, At-Tirmidzi: 2754 dan Asy-Syamaail:335, Ibnu Abi Syaibah 8/586, Ahmad 3/132 & 134 & 151 & 250, Abu Ya’laa no. 3784, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Atsar no. 1126, dan yang lainnya; shahih).

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu Hafizohulloh berkata, “Dipahami dari dua hadist ini bahwa seorang muslim yang suka dihormati oleh manusia dengan berdiri ketika memasuki suatu majelis mendapat ancaman masuk neraka, dan para sahabat radhiallohu anhum sangat mencintai Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi jika mereka melihat Rasulolloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang, mereka tidak berdiri menghormati beliau, karena mereka mengetahui kebencian rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap berdiri untuk menghormatinya” (Minhaj firqotun najiah wa thoifatul manshuroh hal 127, Darul Haromain)

Kita juga jangan ikut berdiri yang diharamkan
Karena membiasakan hal ini akan membuat orang yang biasa dihormati akan suka dengan hal ini. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu Hafizohulloh berkata, “Pengulangan berdiri untuk mengormati seorang alim [guru atau ustadz, pent] atau orang yang masuk akan menimbulkan pada diri keduanya rasa cinta terhadap penghormatan dengan berdiri, di mana tidak terdapat perasaan gelisah pada dirinya, dan mereka yang berdiri merupakan pembantu bagi syaitan dalam memberikan rasa cinta penghormatan berdiri bagi yang datang, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
و لا تكووا عون الشيطان على اخيكم

“Janganlah kalian menjadi penolong setan atas saudara kalian” [HR. Bukhari:6781] (Minhaj firqotun najiah wa thoifatul manshuroh hal 128, darul haromain)

Dan jangan pula kita saling membantu dalam dosa dan maksiat, Alloh Azza wa Jalla berfirman,
وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (Al-Maidah:2)



Berdiri yang disyariatkan
Ada beberapa hadist shohih yang menunjukkan bolehnya berdiri menyambut yang datang, akan tetapi hal ini berbeda dengan berdiri yang dilarang. Bahkan sebagian orang berdalil dengan haidts ini untuk membolehkan berdiri yang terlarang. Hal ini dikemukakan oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu Hafizohulloh dalam Minhaj firqotun najiah wa thoifatul manshuroh;
1. Hadist Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyambut fatimah
عن عائشة قالت: كن أزواج النبي صلى الله عليه وسلم عنده. لم يغادر منهن واحدة. فأقبلت فاطمة تمشي. ما تخطئ مشيتها من مشية رسول الله صلى الله عليه وسلم شيئا. فلما رآها رحب بها. فقال “مرحبا بابنتي” ثم أجلسها عن يمينه أو عن شماله.

Dari ‘Aisyah ia berkata : “Suatu ketika para istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di sisi beliau tanpa ada seorang istri pun yang tertinggal. Maka datanglah Fathimah dengan berjalan kaki yang cara berjalannya tidak berbeda sedikit pun dengan cara berjalannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah beliau melihatnya, beliau menyambutnya dengan mengucapkan : ‘Selamat datang putriku’” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3623 dan Muslim no. 2450].
Disyariatkan Berdiri menyambut tamu untuk menemuinya dan memuliakannya dan yang berdiri hanya tuan rumah saja.

2. Hadist perintah rosululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar menolong sa’ad bin Mu’adz
قوموا إلى سيدكم

“Berdirilah menuju sayyid (pemimpin) kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6262, Muslim no. 1768, dan Abu Dawud no. 5215].
Dan diriwayat yang lain ada tambahan,
” فأنزلوه “
“Turunkan dia”

Asbabul wurud hadist ini diceritakan bahwa Sa’ad bin Mu’adz Rodhiallohu ‘anhu terluka dan Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam memintanya untuk memberikan putusan hukuman kepada Yahudi, maka ia menunggangi keledai dan tatkala sampai Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum anshor dengan hadist di atas. Maka, ini adalah berdiri yang disyariatkan untuk membantu Sa’ad sayyid kaum Anshor dan Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat yang lain tidak ikut berdiri.

3. Hadist Tholhah Rodhiallohu ‘anhu menyambut ka’ab bin malik Rodhiallohu ‘anhu yang diterima taubatnya
وانْطَلَقتُ أَتَأَمَّمُ رسول الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم يَتَلَقَّانِي النَّاسُ فَوْجاً فَوْجاً يُهَنِّئُونني بِالتَّوْبَةِ وَيَقُولُون لِي: لِتَهْنِكَ تَوْبَةُ الله عَلَيْكَ، حتَّى دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا رسول الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم جَالِسٌ حَوْلَهُ النَّاسُ، فَقَامَ طلْحَةُ بْنُ عُبَيْد الله رضي الله عنه يُهَرْوِل حَتَّى صَافَحَنِي وهَنَّأَنِي، واللَّه مَا قَامَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهاجِرِينَ غَيْرُهُ،

“Dan aku berangkat menuju Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sementara orang-orang berbondong-bondong menemuiku, dan mengucapkan selamat atas taubat Allah untukku. Mereka mengucapkan : ‘Semoga taubat Allah atasmu membuatmu bahagia’. Hingga aku masuk masjid, ternyata Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk dikerumuni orang-orang. Maka Thalhah bin ‘Ubaidillah radliyallaahu ‘anhu berlari-lari hingga menjabat tanganku. Demi Allah, tidak ada orang Muhajirin yang berdiri selain dia.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4418, Muslim no. 2769, dan yang lainnya - lihat Riyaadlush-Shaalihiin hal. 40 no. 21].
Maka ini berdiri yang boleh karena memasukkan rasa gembira kepada orang yang sedih dan hanya sahabat tholhah yang berdiri menyambut.

Jika kita perhatikan maka semua hadist yang membolehkan berdiri menggunakan lafadz قام الى [qooma ila] sedangkan hadist yang melarang berdiri mengunakan lafadz قام له [qooma lahu]. Makna keduanya sangat berbeda, قام الى [qooma ila] bermakna bersegera menolong dan memuliakan sedangkan قام له [qooma lahu] bermakna berdiri ditempat dan mengagungkan. (Minhaj firqotun najiah wa thoifatul manshuroh hal 130-132, Darul Haromain)

Mengapa sekedar berdiri dilarang?
Hal ini dalam rangka saddu dzari’ah yaitu mencegah wasilah-wasilah/sarana yang bisa mengantar kepada sesuatu yang dilarang guna menolak terjadinya kerusakan. Karena berdiri yang dilarang bisa menyebabkan:
1. Sarana menyebabkan orang yang dihormati menjadi gila hormat dan menimbulkan rasa ujub dan sombong pada orang tersebut walaupun pada awalnya ia tidak merasa demikian.
2. Menghindari terjadinya kesyirikan karena pengagungan yang berlebihan, bisa jadi nanti pengagungan tersebut berlebihan sebagaimana yang dilakukan beberapa bangsa yang mengharuskan berdiri dan membungkukkan badan ketika pempinan atau raja datang. Karena kesyirikan adalah larangan terbesar dalam islam.

Penutup
Mungkin ada yang berpikir, masa’ hal sepele dan sekecil ini diatur-atur oleh agama islam. Maka kita katakan justru hal ini menunjukkan bahwa agama islam telah sempurna dan memberi petunjuk disegala macam segi kehidupan. Cukuplah jawaban sahabat Salman Al-Farisi Rodhiallohu ‘anhu kepada seorang musyrikin yang berkata,
“Sungguh nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu sampai-sampai perkara adab buang hajat sekalipun.” Salman menjawab: “Ya, benar…” (HR. Muslim No. 262)

Maka mari kita kembali kepada ajaran islam yang telah mengajarkan semua hal jika kita ingin selamat dunia dan akherat. Karena merupakan petunjuk langsung dari pencipta yang lebih mengetahui sebaik-baik petunjuk.

Memelihara Hewan itu Boleh, Kalau Memelihara Anjing itu Haram


Memelihara hewan itu termasuk kebaikan, namun jika hewan tersebut adalah anjing, maka dilarang untuk dipelihara.
Tidak percaya dek?
Ini loh dalil bahwa memelihara hewan itu termasuk kebaikan.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seekor unta yang punggungnya menempel dengan perutnya (artinya: kelihatan begitu kurus karena tidak terurus). Beliau bersabda,
اتَّقُوا اللَّهَ فِى هَذِهِ الْبَهَائِمِ الْمُعْجَمَةِ فَارْكَبُوهَا صَالِحَةً وَكُلُوهَا صَالِحَةً
Bertakwalah kalian kepada Allah pada binatang-binatang ternak yang tak bisa berbicara ini. Tunggangilah ia dengan baik-baik, makanlah pula dengan cara yang baik.” (HR. Abu Daud no. 2548. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Imam Nawawi mengatakan dalam Riyadhus Sholihin bahwa hadits ini shahih).
Dalil di atas adalah dalil yang menunjukkan bahwa hendaklah kita memperlakukan hewan dengan baik termasuk memeliharanya.
Sedangkan untuk anjing tidak boleh dipelihara. Ini loh dalilnya.
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا لَيْسَ بِكَلْبِ مَاشِيَةٍ أَوْ ضَارِيَةٍ ، نَقَصَ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ قِيرَاطَانِ
Barangsiapa memanfaatkan anjing, bukan untuk maksud menjaga hewan ternak atau bukan maksud dilatih sebagai anjing untuk berburu, maka setiap hari pahala amalannya berkurang sebesar dua qiroth.” (HR. Bukhari no. 5480 dan Muslim no. 1574)
Apa kita ingin pahala kita berkurang terus setiap harinya gara-gara memelihara anjing.
Jadi berpikirlah, jika menjadi seorang muslim, jauhilah apa yang Allah larang.
Hanya Allah yang memberi taufik.

Indahnya Surga, Dahsyatnya Neraka


Saudaraku yang semoga dirahmati oleh Allah, sesungguhnya orang yang tidak mengenal kemuliaan akhirat dan malas beribadah akan menganggap dunia ini sebagai negeri yang senantiasa ia tempati. Ia selalu merasa kurang terhadap apa yang dimilikinya, tidak pernah merasa cukup mengejar dunia sampai segala keinginannya terpenuhi. Padahal, apa yang ia usahakan, berupa harta, anak, dan lain-lain, semua itu tidak akan pernah menimbulkan kepuasan pada dirinya, bahkan mampu membawa kesengsaraan baginya. Seharusnya dia menyadari bahwa sebentar lagi kematian akan menghampirinya. Adapun orang yang mendapat taufik, dia menyadari bahwa dunia dan segala keindahannya itu hanyalah tipuan belaka, sehingga dia tidak terperdaya  bahkan sebaliknya akan bergegas menuju ampunan Allah serta surga yang seluas langit dan bumi, yang dipersiapkan bagi orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kenikmatan di Surga
Saudaraku … bersegeralah menuju ampunan Rabb kalian dan surga yang seluas langit dan bumi. Di dalamnya terdapat berbagai kenikmatan yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, ataupun terbetik  di hati seorangpun. Hal ini sebagaimana dibenarkan oleh firman Allah ‘azza wa jalla yang artinya,
Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam ni’mat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (As Sajdah : 17).
Di antara kenikmatan di surga yang Allah dan Rasul-Nya telah perkenalkan pada kita  adalah :
[1]. Merasakan nikmatnya sungai susu, arak, dan madu, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman yang artinya,” (Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamer (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring.” (Muhammad : 15).
[2]. Mendapatkan isteri yang masih belia dan berumur sebaya, sebagaimana firman Allah yang artinya, ”Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, dan gadis-gadis remaja yang sebaya.” (An Naba’ : 31-33).
[3]. Hidup kekal dengan nikmat lahir dan batin, sebagaimana Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallambersabda yang artinya, “Siapa yang masuk surga selalu merasa nikmat, tidak pernah susah, pakaiannya tidak pernah cacat, dan kepemudaannya tidak pernah sirna.” (HR. Muslim).
[4]. Diberi umur muda, sebagaimana Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Ahli surga, berbadan indah tanpa bulu, matanya indah bercelak, umurnya 30 atau 33 tahun.” (Shohihul Jaami’).
[5]. Memandang wajah Allah yang mulia, sebagaimana diriwayatkan dari Shuhaib, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika surga telah dimasuki oleh para penghuninya, ada yang menyeru : ‘Wahai penduduk surga, sesungguhnya Alloh mempunyai suatu janji untuk kalian yang janji tersebut berada di sisi Allah, di mana Dia ingin menuaikannya.’ Mereka berkata : ‘Apakah itu? Bukankah Dia telah memberatkan timbangan-timbangan kami, memasukkan kami ke surga, dan menyelamatkan kami dari neraka?‘ Beliau melanjutkan : ‘Maka Allah menyingkapkan hijabnya (tabirnya), sehingga mereka melihat-Nya (wajah Allah). Demi Allah, Allah belum pernah memberikan sesuatu pun yang lebih mereka cintai dan menyejukkan pandangan mereka daripada melihat-Nya.” (HR. Muslim).
Masih banyak sekali ayat dan hadits lainnya yang menerangkan tentang sifat-sifat surga, kenikmatannya, kesenangannya, kebahagiannya, dan keelokannya. Semoga Allah menjadikan kita sebagai penghuninya.

Jalan Menuju Surga
Jika ada yang bertanya tentang amal dan jalan menuju ke surga, maka jawabannya telah Allah berikan secara jelas dalam wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya yang mulia. Di antaranya sebagaimana yang Allah jelaskan dalam surat Al Mu’minuun ayat 1-11. Beberapa sifat-sifat penghuni surga -semoga Allah menjadikan kita sebagai penghuninya- dari ayat tersebut adalah:
Pertama, beriman kepada Allah dan perkara-perkara yang wajib diimani dengan keimanan yang mewajibkan penerimaan, ketundukan, dan kepatuhan.
Kedua, khusyu’ dalam shalatnya yaitu hatinya hadir dan anggota tubuhnya tenang.
Ketiga, menjauhkan diri dari perkataan dan perbuatan yang sia-sia (yang tidak mempunyai faedah dan kebaikan).
Keempat, menunaikan zakat yaitu bagian harta yang wajib dikeluarkan atau mensucikan jiwa mereka (karena salah satu makna zakat adalah bersuci) berupa perkataan dan perbuatan.
Kelima, menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri dan budaknya.
Keenam, memelihara amanah yang dipercayakan dan memenuhi janjinya baik kepada Alloh, kepada sesama mukmin, ataupun kepada makhluk lainnya.
Ketujuh, melaksanakan sholat pada waktunya, sesuai dengan bentuknya yang sempurna, dengan memenuhi syarat, rukun, dan kewajibannya.
Selain ayat di atas, Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan tentang jalan menuju surga yaitu dengan menuntut ilmu syar’i. Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah akan memudahkannya dalam menempuh jalan ke surga.” (HR. Muslim). Ya Alloh, mudahkanlah kami untuk melaksanakan amalan-amalan ini dan menetapkan kami di atasnya.

Dahsyatnya Neraka
Saudaraku … kebalikan dari berbagai kenikmatan di atas, sebagian makhluk malah menuju neraka yang teramat panas. Dan Allah subhanahu wa ta’ala telah memperingatkan kepada kita tentang neraka dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya. Allah telah menggambarkan kepada kita tentang berbagai bentuk siksaan yang terdapat di dalamnya dengan penggambaran yang mampu membuat hati dan jantung ini serasa terbelah-belah. Maka perhatikanlah baik-baik terhadap apa yang datang dalam Al Qur’an dan As Sunnah tentang berbagai bentuk adzab (siksaan) di dalamnya.
Di antara siksaan-siksaan bagi penduduk neraka adalah :
[1]. Kulit mereka diganti dengan yang baru, sebagaimana Allah berfirman yang artinya, “Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan adzab.” (An Nisa’ : 56).
[2]. Bara apinya membakar sampai ke hati, sebagaimana Allah berfirman yang artinya, “(Yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati.” (Al Humazah : 6-7).
[3]. Mereka diseret ke neraka di atas wajah mereka, sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya,“(Ingatlah) pada hari mereka diseret ke neraka atas muka mereka.” (Al Qomar : 48).
[4]. Minuman mereka seperti besi yang mendidih, sebagaimana Allah berfirman yang artinya, “Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (Al Kahfi : 29).
[5]. Tubuh mereka membesar, sebagaimana sabda beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Gigi taring orang kafir besarnya seperti gunung uhud dan tebal kulit mereka seukuran tiga perjalanan.” (Shohihul Jaami)
Begitu syadiid (keras) siksaan ini, lalu siksaan apa yang paling ringan bagi penghuni neraka? Rasulullahshollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya penduduk neraka yang paling ringan siksanya ialah orang yang mengenakan dua sandal dari neraka lalu mendidih otaknya karena sangat mencekam panas dua sandalnya.” (HR. Muslim). Wahai saudaraku … tidakkah kalian takut dengan siksa yang pedih dan dahsyat ini ??!

Sebab-Sebab Masuk Neraka
Perlu diketahui bahwa terdapat dua jenis sebab yang menyebabkan seseorang masuk neraka -semoga Allah menyelamatkan kita darinya-.
Jenis pertama adalah sebab-sebab yang menyebabkan pelakunya tidak lagi beriman, menjadikannya kafir, sekaligus membuatnya kekal di neraka. Di antara sebab-sebab jenis pertama ini adalah :
Pertama, melakukan syirik akbar (besar), seperti bernadzar dan menyembelih kepada selain Alloh.
Kedua, kufur kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Nya, hari akhir, serta qodho dan qodhar dengan cara mendustakan, menentang, ataupun meragukannya.
Ketiga, mengingkari kewajiban salah satu rukun Islam yang lima.
Keempat, mengolok-olok dan mencaci Allah, agama-Nya, atau Rasul-Nya.
Kelima, berhukum dengan selain hukum Allah dengan keyakinan hukum tersebut lebih benar dan lebih bermanfaat, atau setara dengan hukum Allah, atau meyakini bolehnya hal tersebut.
Ketujuh, kemunafikan yaitu menyembunyikan kekafiran dalam hatinya, akan tetapi dia menampakkan diri seolah-olah seorang muslim.
Jenis kedua adalah sebab yang menyebabkan pelakunya berhak masuk neraka, namun tidak kekal di dalamnya. Di antaranya ialah : durhaka pada kedua orang tua, memutuskan silaturahmi, memakan riba, memakan harta anak yatim, bersaksi palsu, dan sumpah palsu.
Ya Allah, selamatkanlah kami dari neraka, lindungilah kami dari negeri yang penuh kehinaan dan kerusakan, dan tempatkanlah kami di negeri orang yang berbakti dan bertakwa