Untuk
amalan sunnah, hendaknya disembunyikan rapat-rapat. Ini berlaku pula untuk
puasa Syawal. Sedangkan amalan wajib memang ditampakkan di hadapan orang lain.
Lihat
contoh para salaf berikut ini …
Jika
Ibrohim bin Ad-ham diajak makan (padahal ia sedang puasa), ia pun ikut makan
dan ia tidak mengatakan, “Maaf, saya sedang puasa”.
Dalam
rangka menyembunyikan amalan puasa sunnah, sebagian salaf senang berhias agar
tidak nampak lemas atau lesu karena puasa. Mereka menganjurkan untuk menyisir
rambut dan memakai minyak di rambut atau kulit di kala itu. Ibnu ‘Abbas
mengatakan,
إِذَا كَانَ صَوْمُ
أَحَدِكُمْ فَلْيُصْبِحْ دَهِينًا مُتَرَجِّلاً
“Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka
hendaklah ia memakai minyak-minyakan dan menyisir rambutnya.” Disebutkan oleh Al Bukhari dalam kitab Shahihnya
tanpa sanad (secara mu’allaq).
Daud
bin Abi Hindi berpuasa selama 40 tahun dan tidak ada satupun orang, termasuk
keluarganya yang mengetahuinya. Ia adalah seorang penjual sutera di pasar. Di
pagi hari, ia keluar ke pasar sambil membawa sarapan pagi. Dan di tengah jalan
menuju pasar, ia pun menyedekahkannya. Kemudian ia pun kembali ke rumahnya pada
sore hari, sekaligus berbuka dan makan malam bersama keluarganya. (Lihat
Shifatus Shofwah, Ibnul Jauziy, 3: 300)
Jadi
orang-orang di pasar mengira bahwa ia telah sarapan di rumahnya. Sedangkan
orang-orang yang berada di rumah mengira bahwa ia menunaikan sarapan di pasar.
Masya Allah, luar biasa trik beliau dalam menyembunyikan amalan.
Apa
yang memotivasi para salaf menyembunyikan amalan?
Dari
Sa’ad bin Abi Waqqash, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba
yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka mengasingkan diri.” (HR. Muslim no. 2965). Mengasingkan diri berarti
amalannya pun sering tidak ditampakkan pada orang lain.
Itulah
para ulama, begitu semangatnya mereka dalam menyembunyikan amalan puasanya.
Namun
yang patut diingat adalah perkataan Al Fudhail bin ‘Iyadh di mana ia berkata,
تَرْكُ الْعَمَلِ
لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ وَالْعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ
“Meninggalkan amalan karena manusia termasuk riya’ dan
beramal karena manusia termasuk syirik.”
(Majmu’atul Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 23: 174).
Ulama
Al Lajnah Ad Daimah ditanya mengenai perkataan Al Fudhail bin ‘Iyadh
rahimahullah, yaitu meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’ dan beramal
karena manusia itu syirik. Kami dan saudara kami biasa meninggalkan amal sunnah
karena khawatir pada manusia boleh jadi karena akan jadi bencana bagi diri kami
atau merendahkan kami. Atau ada yang meninggalkan amalan karena takut cemoohan
saudara yang lain atau takut ditindak secara hukum. Apakah seperti itu termasuk
riya’? Lalu bagaimana cara berlepas diri darinya?
Jawab
dari para ulama Al Lajnah Ad Daimah -Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia-,
Pernyataan,
beramal karena manusia termasuk syirik. Pernyataan ini benar adanya karena
berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah menunjukkan kewajiban ikhlas
karena Allah dalam ibadah dan diharamkannya riya’ (pamer amalan). Dan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebut riya’ dengan syirik ashgor dan
perbuatan inilah yang paling dikhawatirkan menghidap pada umatnya.
Adapun
pernyataan, meninggalkan amalan karena manusia itu riya’, maka itu tidak secara
mutlak. Ada perincian dalam hal itu dan intinya tergantung pada niat. Karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap amalan tergantung pada
niat. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” Jadi niat ini
yang jadi patokan, ditambah amalan tersebut harus bersesuaian dengan tuntunnan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini berlaku pada setiap amal. Karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang beramal tanpa tuntunan dari
kami, maka amalan tersebut tertolak.”
Jika
seseorang meninggalkan amalan yang tidak wajib karena menyangka bahwa hal itu
dapat membahayakan dirinya, maka tidak termasuk riya’. Ini termasuk strategi
dalam beramal. Begitu pula jika seseorang meninggalkan amalan sunnah di hadapan
manusia karena khawatir dipuji yang dapat membahayakan diri atau
memudhorotkannya, maka ini bukanlah riya’. Adapun amalan wajib tidak boleh
ditinggalkan karena takut dipuji manusia kecuali jika ada udzur syar’i.
Wa
billahit taufiq. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
[Fatwa
Al Lajnah Ad Daimah, 1: 768-769, Fatwa ini ditandatangani oleh: Syaikh ‘Abdul
‘Aziz bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku wakil ketua,
Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan selaku anggota, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selaku
anggota]
Dari
penjelasan di atas menunjukkan bahwa amalan sunnah hendaknya disembunyikan
rapat-rapat, itu lebih baik. Sedangkan amalan wajib itulah yang ditampakkan.
Kalau sengaja seseorang meninggalkan amalan wajib biar tidak disebut riya’,
itulah yang bahaya.
Adapun
rincian yang menarik …
Imam
Al-Iz bin ‘Abdus Salam telah menjelaskan hukum menyembunyikan amalan kebajikan
secara lebih terperinci. Beliau berkata, “Ketaatan (pada Allah) ada tiga:
Pertama:
Amalan yang disyariatkan untuk ditampakkan seperti adzan, iqomat, ucapan takbir
ketika shalat, membaca Qur’an secara jahr dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya’
dan Shubuh, pen), ketika berkhutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan
shalat jum’at dan shalat secara berjamaah, merayakan hari-hari ‘ied, jihad,
mengunjungi orang-orang yang sakit, dan mengantar jenazah, maka amalan semacam
ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut
berbuat riya, maka hendaknya ia berusaha keras untuk menghilangkannya hingga
dia bisa ikhlas dalam beramal. Sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan
pahala amalannya dan juga pahala karena kesungguhannya menghilangkan riya’
tadi, karena amalan-amalan ini maslahatnya juga untuk orang lain.
Kedua:
Amalan yang jika diamalkan secara sembunyi-sembunyi lebih utama daripada jika
ditampakkan. Contohnya seperti membaca Qur’an dengan sir (lirih) dalam shalat
siriyah (zhuhur dan ashar, pen), dan berdzikir dalam solat secara perlahan.
Maka dengan perlahan lebih baik daripada jika dijahrkan.
Ketiga:
Amalan yang terkadang disembunyikan dan terkadang ditampakkan seperti amalan
sedekah. Jika dia kawatir tertimpa riya’ atau dia tahu bahwasanya biasanya
kalau dia nampakan amalannya dia akan riya’, maka amalan (sedekah) tersebut
disembunyikan lebih baik daripada jika ditampakkan. Karena Allah Ta’ala
berfirman,
وَإِنْ تُخْفُوهَا
وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
“Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan
kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 271)
Semoga
bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
0 komentar:
Post a Comment