Bohong yang Dibolehkan
Adakah
bohong atau dusta yang dibolehkan?
Asalnya
memang berbohong itu terlarang dikecualikan dalam tiga hal. Ketika itu
berbohong jadi rukhsoh atau keringanan karena ada maslahat yang besar.
Ada
hadits yang menyebutkan hal ini,
أَنَّ أُمَّهُ أُمَّ
كُلْثُومٍ بِنْتَ عُقْبَةَ بْنِ أَبِى مُعَيْطٍ وَكَانَتْ مِنَ الْمُهَاجِرَاتِ
الأُوَلِ اللاَّتِى بَايَعْنَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَخْبَرَتْهُ
أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ يَقُولُ « لَيْسَ الْكَذَّابُ
الَّذِى يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ وَيَقُولُ خَيْرًا وَيَنْمِى خَيْرًا ». قَالَ
ابْنُ شِهَابٍ وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِى شَىْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ
كَذِبٌ إِلاَّ فِى ثَلاَثٍ الْحَرْبُ وَالإِصْلاَحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ
الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا.
Ummu
Kultsum binti ‘Uqbah bin ‘Abi Mu’aythin, ia di antara para wanita yang
berhijrah pertama kali yang telah membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ia mengabarkan bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidak disebut pembohong jika bertujuan untuk mendamaikan dia antara
pihak yang berselisih di mana ia berkata yang baik atau mengatakan yang baik
(demi mendamaikan pihak yang berselisih, -pen).”
Ibnu
Syihab berkata, “Aku tidaklah mendengar sesuatu yang diberi keringanan untuk
berdusta di dalamnya kecuali pada tiga perkara, “Peperangan, mendamaikan yang
berselisih, dan perkataan suami pada istri atau istri pada suami (dengan tujuan
untuk membawa kebaikan rumah tangga).” (HR. Bukhari no. 2692 dan Muslim no.
2605, lafazh Muslim).
Dusta
dan Bohong Tetap Haram
Contoh
perkataan suami pada istrinya yang dimaksud di atas, “Tidak ada seorang pun
yang lebih aku cintai selain dirimu.” Atau sebaliknya istri mengatakan seperti
itu.
Intinya,
dusta tetaplah suatu perkara yang diharamkan. Bohong atau dusta hanyalah
diringankan pada suatu perkara yang dianggap punya maslahat yang besar yaitu
yang disebutkan dalam hadits di atas. Dalam suatu kondisi berdusta malah bisa
diwajibkan untuk menghindarkan diri dari kehancuran atau kebinasaan seseorang.
(Lihat Nuzhatul Muttaqin karya Syaikh Prof Dr. Musthofa Al Bugho, dkk, hal.
134).
Tawriyah,
Permainan Kata
Namun
apakah dusta yang dimaksudkan adalah dusta yang tegas ataukah cuma permainan
kata-kata saja (disebut: tawriyah). Yang dimaksud tawriyah adalah menampakkan
pada yang diajak bicara tidak sesuai kenyataan, namun dari satu sisi pernyataan
yang diungkap itu benar.
Misalnya,
ada yang mengatakan demi mendamaikan yang berselisih, “Si Ahmad (yang
sebenarnya mencacimu) itu benar-benar memujimu.” Maksud pujian ini adalah
pujian umum, bukan tertentu karena setiap muslim pasti memberikan pujian pada
lainnya.
Misalnya
yang lain, karena perselisihan demi mendamaikan, si pendamai berkata, “Si fulan
yang penuh dendam padamu itu selalu mendoakanmu.” Mendengar seperti itu, tentu
akan reda pertikaian yang ada. Karena memang setiap muslim itu akan mendoakan
yang lainnya dalam doa termasuk dalam shalatnya. Seperti saat tasyahud pada
bacaan “assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish sholihiin” (salam untuk kita dan
hamba Allah yang shalih). Yang dimaksud di sini adalah doa bagi setiap muslim.
Jadi seakan-akan perkataannya tadi menunjukkan dusta, namun dari satu sisi
benar karena ia pun mendoakan kaum muslimin secara umum dalam shalat.
Namun
yang ingin menyelesaikan atau mendamaikan perselisihan hendaklah menjauhkan
diri dari dusta. Kalau terpaksa, maka hendaklah yang dilakukan bentuknya adalah
tawriyah. Tawriyah itu dibolehkan jika ada maslahat.
Tawriyah
pada Pasangan Suami Istri
Sedangkan
contoh perkataan dusta atau bohong pada istri yang dibolehkan itu seperti apa?
Bentuknya
juga adalah tawriyah, yaitu mengatakan sesuatu yang nampak menyelisihi
kenyataan namun satu sisi ada makna benarnya. Contoh misalnya yang dikatakan
oleh suami pada istrinya, “Engkau adalah manusia yang paling aku cintai.” Ini
tujuannya untuk mengikat cinta dan kasih sayang antara sesama pasangan.
0 komentar:
Post a Comment