Nama Rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam akan terus disebut dan disanjung. Bahkan nama beliau selalu disebut bergandengan dengan nama Allah seperti dalam lafal azan, khutbah, shalat, dan syahadat ketika orang masuk Islam.
Allah Ta’ala berfirman,
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ (4)
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)-mu.” (QS. Alam Nasyrah: 4)
Mujahid berkata bahwa tidaklah nama Allah disebut melainkan diserta dengan nama Nabi Muhammad seperti pada syahadat ‘asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar rasulullah.’
Qatadah berkata, “Allah meninggikan penyebutan Nabi Muhammad di dunia dan di akhirat. Tidaklah seorang khatib, seorang yang membaca tasyahud, seorang yang bershalawat melainkan disebut dengannya: Asyahadu alla ilaha illallah, wa anna Muhammadar rasulullah.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7: 596)
Dalam Zaadul Masiir (9: 163), pendapat Qatadah inilah yang dianut oleh jumhur atau mayoritas ulama.
Dalam Tafsir Al-Jalalain (hlm. 607), ketika nama Allah disebut, nama Muhammad juga disebut seperti dalam azan, iqamah, tasyahud dan khutbah.
Dalam Tafsir As-Sa’di (hlm. 975) disebutkan, tidaklah nama Allah disebut melainkan nama Muhammad juga disebut bersamanya. Sebagaimana disebut ketika seseorang masuk Islam, dalam azan, iqamah, khutbah dan selainnya. Begitu pula di urusan lainnya yang di mana Allah meninggikan penyebutan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hati orang beriman pun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu dicinta, diagungkan, tidak seperti yang lain, dan ini setelah nama Allah disebut.
Pelajaran penting yang bisa diambil pula dapat dilihat dari perkataan Ibnu Taimiyah berikut.
Ibnu Taimiyah berkata, “Allah telah memerintahkan untuk mentaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari 30 tempat dalam Al-Qur’an. Allah mengaitkan ketaatan kepada-Nya dengan ketaatan pada Rasul. Begitu pula Allah menggandengkan orang yang menyelisihi perintah-Nya dengan menyelisihi perintah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana Allah menggandengkan nama-Nya dan nama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah nama Allah disebut melainkan dengan menyebut nama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallampula.
Ibnu ‘Abbas berkata mengenai ayat, “Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)-mu.” Yang dimaksud adalah ketika disebut nama Allah, maka nama Muhammad juga disebut. Hal ini ditemukan seperti pada tasyahud, khutbah, dan azan terdapat persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Islam pun tidaklah sah kecuali dengan menyebut syahadat Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dan pengakuan risalah beliau. Begitu pula azan tidaklah sah kecuali dengan menyebut nama Muhammad dan syahadat Muhammad utusan Allah. Begitu pula shalat dan khutbah tidaklah sah melainkan dengan menyebut nama dan syahadat pada beliau.
Bahkan diberi ancaman dan kekufuran oleh Allah subhanahu wa ta’ala bagi yang menyelisihi perintah Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63). Imam Ahmad rahimahullahditanya, “Fitnah apakah itu?” “Yang dimaksud adalah kekufuran,” jawab Imam Ahmad.
Begitu pula Allah menetapkan kehinaan dan kerendahan bagi yang menyelisihi perintah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam Musnad Al-Imam Ahmad dari hadits ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بُعِثْت بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي وَجُعِلَتْ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمِ فَهُوَ مِنْهُمْ
“
Aku diutus menjelang hari kiamat untuk memerintah supaya Allah saja yang disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan dijadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku. Lalu dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi yang menyelisihi perintahku. Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.”
[1](
Majmu’ah Al-Fatawa, 19: 104)
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Referensi:
Tafsir Al-Jalalain. Cetakan kedua, tahun 1422 H. Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi. Penerbit Darus Salam.
Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Syaikh Abu Ishaq Al-Huwainiy. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karimir Rahman). Cetakan kedua, tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
Zaadul Masiir fii ‘Ilmi At-Tafsir. Cetakan ketiga, 1404 H. ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad Al-Jauzi (Ibnul Jauzi). Penerbit Al-Maktab Al-Islami.
—