Wednesday, 9 September 2015

Hukum Mengumumkan Berita Kematian di Masjid

Asalnya, menyampaikan berita kematian kepada khalayak ramai tidaklah mengapa insya Allah. Mengumumkan seperti itu termasuk hal yang dibolehkan selama tidak ada unsur terlarang di dalamnya.

Di antara dalilnya adalah hadits,
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ada seseorang yang biasa mengumpulkan sampah di masjid (laki-laki atau perempuan hitam) meninggal dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan tentang orang tersebut dan dikabarkan pada beliau bahwa ia telah meninggal. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
أَفَلاَ كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِى بِهِ دُلُّونِى عَلَى قَبْرِهِ
Kenapa kalian tidak mengabariku tentang kematiannya? Sekarang tunjukkan padaku di manakah kuburnya.” (HR. Bukhari no. 458 dan Muslim no. 956).
Juga terdapat hadits,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَعَى النَّجَاشِىَّ فِى الْيَوْمِ الَّذِى مَاتَ فِيهِ ، خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى ، فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan berita kematian An Najasyi pada hari kematiannya. Lalu beliau keluar menuju tempat shalat dan membentuk shaf para jama’ah, lantas melaksanakan shalat jenazah dengan empat kali takbir.” (HR. Bukhari no. 1245).
Namun pengumuman berita kematian di masjid lewat pengeras suara tidak layak dilakukan. Al Muwafaq dalam kitabnya At Tajj wal Iklil li Mukhtashor Kholil berkata, ia mendengar Ibnul Qasim di mana ia berkata bahwa Imam Malik ditanya mengenai pengumuman berita kematian lewat pintu-pintu masjid, ia pun tidak suka. Begitu pula dengan berteriak di masjid mengenai kematian seseorang, itu pun tidak dibolehkan. Ia katakan, “Seperti itu tidak ada kebaikan.” Ia juga berkata, “Tidak mengapa jika ia berkeliling di majelis lalu mengabarkan berita tersebut tanpa mengeraskan suara.” (Dinukil dari Fatwa Islam Web)
Apa yang disebutkan di atas sama dengan yang disebutkan oleh ulama besar Syafi’iyah yaitu Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah, di mana beliau berkata,
أَنَّ النَّعْي لَيْسَ مَمْنُوعًا كُلّه ، وَإِنَّمَا نُهِيَ عَمَّا كَانَ أَهْل الْجَاهِلِيَّة يَصْنَعُونَهُ فَكَانُوا يُرْسِلُونَ مَنْ يُعْلِن بِخَبَرِ مَوْت الْمَيِّت عَلَى أَبْوَاب الدُّور وَالْأَسْوَاق
“Mengumumkan berita kematian tidaklah semua terlarang. Yang terlarang hanyalah yang dahulu dilakukan orang Jahiliyah di mana mereka mengutus beberapa orang untuk mengumumkan berita kematian di pintu-pintu dan di pasar-pasar. ” (Fathul Bari, 3: 116).
Ibnu Hajar juga menyebutkan bahwa Sa’id bin Manshur menyebutkan tentang mengumumkan berita kematian yang termasuk perbuatan orang Jahiliyyah. Dikabarkan dari Ibnu ‘Ulayyah, dari Ibnu ‘Aun, ia berkata bahwa ia bertanya pada Ibrahim, “Apakah mereka melarang mengumumkan berita kematian?” Ibrahim pun menjawab, “Iya terlarang.” Ibnu ‘Aun menjelaskan,
إِذَا تُوُفِّيَ الرَّجُل رَكِبَ رَجُل دَابَّة ثُمَّ صَاحَ فِي النَّاس : أَنْعِي فُلَانًا
“Jika ada yang meninggal dunia, maka ada yang akan menaiki hewan tunggangan lantas berteriak di khalayak ramai, “Aku kabarkan tentang berita kematian si fulan.” (Fathul Bari, 3: 117)
Adapun jika memberitahukan kepada kerabat atau orang-orang terdekat tidaklah mengapa.
Ibnu Sirin berkata,
لَا أَعْلَم بَأْسًا أَنْ يُؤْذِن الرَّجُل صَدِيقه وَحَمِيمه
“Aku menganggap tidaklah masalah jika seeorang mengumumkan berita kematian pada sahabat dan teman dekat.” (Idem)
Ibnu Hajar juga berkata, “Kesimpulannya, semata-mata mengumumkan kematian tidaklah terlarang. Jika lebih dari itu (sampai melakukan yang terlarang), maka tidak dibolehkan. Sebagian salaf sampai-sampai melarang keras dalam hal ini di antaranya adalah Hudzaifah jika sampai kematian seseorang diumumkan, ia pun berkata,
لَا تُؤْذِنُوا بِهِ أَحَدًا ، إِنِّي أَخَاف أَنْ يَكُون نَعْيًا ، إِنِّي سَمِعْت رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأُذُنَيَّ هَاتَيْنِ يَنْهَى عَنْ النَّعْي
“Jangan umumkan berita kematian tersebut kepada seorang pun. Aku khawatir itu termasuk mengumumkan berita kematian (yang terlarang). Sungguh, aku pernah mendengar dengan kedua telingaku dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mengumumkan kematian seperti itu terlarang. Dikeluarkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah, dengan sanad yang hasan[1].”
Ibnul ‘Arabi mengatakan, “Kesimpulan dari berbagai hadits mengenai hal ini adalah perlu ada tiga rincian.
الْأُولَى إِعْلَام الْأَهْل وَالْأَصْحَاب وَأَهْل الصَّلَاح فَهَذَا سُنَّة ، الثَّانِيَة دَعْوَة الْحَفْل لِلْمُفَاخَرَةِ فَهَذِهِ تُكْرَه ، الثَّالِثَة الْإِعْلَام بِنَوْعٍ آخَر كَالنِّيَاحَةِ وَنَحْو ذَلِكَ فَهَذَا يَحْرُم
1- Menyampaikan berita kematian seseorang kepada keluarga, kawan dan orang-orang shalih. Hal ini hukumnya dianjurkan.
2- Mengumumkan kematian kepada kumpulan orang dengan tujuan menyebut-nyebut kelebihan mayit. Hukum hal ini adalah makruh.
3- Pengumuman kematian jenis lain semisal dalam bentuk meratapi kematian dan semisalnya. Hukum poin ketiga ini adalah haram”.
Ringkasnya, mengumumkan kematian seseorang dengan pengeras suara di masjid sudah selayaknya tidak dilakukan karena hal semacam itu adalah perbuatan jahiliyyah yang terlarang sebagaimana diutarakan oleh Ibnu Hajar di atas. Namun jika tidak dengan pengeras suara, dari orang ke orang, maka tidak terlarang. Wallahu a’lam.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Pelajaran dari Keledai yang Ditunggangi Nabi dan Fenomena Kirim Al Fatihah


Apa kaitannya keledai yang ditunggangi Nabi dan fenomena kirim Al Fatihah?
Ada hadits yang menceritakan saat-saat diutusnya Mu’adz bin Jabal ke Yaman.
Mu’adz bin Jabal menuturkan “aku pernah dibonceng oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam di atas seekor keledai” dan seterusnya sampai “sehingga mereka nanti akan bersikap menyandarkan diri ” (Mutafaqun ‘alaih).
Lalu dirinci atau dijelaskan oleh para ulama tentang boncengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seperti berikut:
1. Keledai tersebut bernama ‘Ufair dan mati pada saat haji wada’ sebagaimana riwayat dari Ibnu Shalah.
2. Muadz dibonceng oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini menunjukkan bahwa Muadz benar-benar dimuliakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan itu menunjukkan begitu merakyatnya dan mudah bergaulnya beliau dengan para sahabat.
3. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan keledai, itu menunjukkan tawadhu’nya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak menganggap dirinya lebih istimewa dari lainnya. Patut diketahui bahwa keledai tidak begitu istimewa dibanding unta dan kuda.
Lihatlah para ulama sangat rinci sekali dalam menyampaikan apa saja yg dilakukan, dimiliki, dan dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai seekor hewan pun mereka riwayatkan memiliki nama dan tahu kapan matinya.
Maka sudah barang tentu ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diketahui detailnya oleh para sahabatradhiyallahu ‘anhum.
Contohnya apakah sehabis doa mesti ditutup dengan Al-Fatihah atau ada tuntunan kirim Al-Fatihah pada orang mati ataukah tidak.
Kalau memang hal ini ada tuntunannya, tentu para sahabat sudah mencatat apa yang disampaikan oleh Rasul dan itu sampai pada kita di zaman ini. Atau mereka bisa menjelaskan amaliyah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal itu.
Namun kok seperti itu tidak ada riwayat yang jelas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Aneh bukan?
Lihatlah nama keledai dan kapan matinya keledai tersebut saja para sahabat meriwayatkan dan para ulama mencatatnya.
Lalu bagaimana amalan bagi orang mati dan baca Al-Fatihah selesai berdoa?
Padahal orang mati pun ada di masa beliau. Doa pun gemar beliau lakukan. Namun tidak kita temukan riwayat shahih yang menunjukkan praktik langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum mengenai kirim al-fatihah pada orang mati atau pun menutup doa dengan membaca Al-Fatihah.

kirim pahala pada mayit

Sebagian mengatakan bahwa kirim pahala bacaan Al Qur’an itu bermanfaat bagi mayit, maka akhirnya dibuatlah ritual selamatan. Sebagian lagi mengatakan bahwa bacaan seperti itu tidak bermanfaat, tidak sampai pada mayit karena ini adalah perkara ghoib dan masuk dalam perkara ibadah sehingga harus butuh dalil untuk menunjukkan sampainya. Tulisan Rumaysho.com kali ini akan mengupas permasalahan kirim pahala pada mayit dan mana saja yang bermanfaat untuk maksud tersebut.

Perselisihan Ulama dalam Masalah Kirim Pahala

Para ulama berselisih pendapat mengenai boleh atau tidaknya kirim pahala pada mayit, apakah sampai ataukah tidak. Ada dua pendapat dalam masalah ini.
Pendapat pertama: Setiap amalan sholih yang dihadiahkan untuk mayit, maka pahalanya akan sampai. Contohnya: Kirim pahala bacaan Al Qur’an, puasa, shalat dan ibadah lainnya.
Pendapat kedua: Setiap amalan sholih yang dihadiahkan untuk mayit itu sampai, namun yang hanya berdasarkan dalil.[1] Pendapat kedua ini menjadi pendapat ulama Syafi’iyah.
Pendapat kedua, itulah yang lebih tepat. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39).
Begitu pula dalil lain yang mendukung adalah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631).

Amalan yang Sampai pada Mayit

Berikut rincian beberapa amalan yang ada dalil menunjukkan manfaatnya amalan tersebut:

1- Haji dan Umrah

Yang membicarakan tentang sampainya pahala haji dan umrah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
أَمَرَتِ امْرَأَةُ سِنَانَ بْنِ سَلَمَةَ الْجُهَنِىِّ أَنْ يَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ أُمَّهَا مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ أَفَيُجْزِئُ عَنْ أُمِّهَا أَنْ تَحُجَّ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّهَا دَيْنٌ فَقَضَتْهُ عَنْهَا أَلَمْ يَكُنْ يُجْزِئُ عَنْهَا فَلْتَحُجَّ عَنْ أُمِّهَا ».
Istri Sinan bin Salamah Al Juhaniy meminta bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ibunya yang meninggal dunia dan belum sempat menunaikan haji. Ia tanyakan apakah boleh ia menghajikan ibunya. “Iya, boleh. Seandainya ibunya punya utang, lalu ia lunasi utang tersebut, bukankah itu bermanfaat bagi ibunya?! Maka silakan ia hajikan ibunya”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR. An Nasai no. 2634, Ahmad 1: 217 dari hadits Abu At Tiyah, Ibnu Khuzaimah 3034, Sunan An Nasai Al Kubro 3613. Sanad hadits inishahih kata Al Hafizh Abu Thohir).
Dalam riwayat lain,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَبِيهَا مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ قَالَ « حُجِّى عَنْ أَبِيكِ ».
Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya seorang wanita pernah bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengenai ayahnya yang meninggal dunia dan belum berhaji, maka beliau bersabda, “Hajikanlah ayahmu.” (HR. Bukhari 1513 dan Muslim 1334, lafazhnya adalah dari An Nasai dalam sunannya no. 2635).
Begitu pula boleh mengumrohkan orang yang tidak mampu,
عَنْ أَبِى رَزِينٍ الْعُقَيْلِىِّ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ لاَ يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ وَلاَ الْعُمْرَةَ وَالظَّعْنَ. قَالَ « حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ ».
Dari Abu Rozin Al ‘Uqoili, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku sudah tua renta dan tidak mampu berhaji dan berumrah, serta tidak mampu melakukan perjalanan jauh.” Beliau bersabda, “Hajikan ayahmu dan berumrahlah untuknya pula.” (HR. An Nasai no. 2638, sanadnya shahih kata Al Hafizh Abu Thohir).
Yang membadalkan haji atau umrah diharuskan telah melakukan ibadah tersebut terlebih dahulu. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ
Mulailah dari dirimu sendiri.” (HR. Muslim no. 997).
Juga didukung oleh hadits,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ شُبْرُمَةُ ». قَالَ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « هَلْ حَجَجْتَ قَطُّ ». قَالَ لاَ. قَالَ « فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ احْجُجْ عَنْ شُبْرُمَةَ ».
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yang berucap ‘labbaik ‘an Syubrumah’ (aku memenuhi panggilan-Mu -Ya Allah- atas nama Syubrumah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Siapa Syubrumah?” “Ia adalah kerabat dekatku”, jawab orang tersebut. “Apakah engkau sudah pernah berhaji sekali sebelumnya?”, tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia jawab, “Belum.” Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatinya, “Jadikan hajimu ini untuk dirimu, nanti engkau berhaji lagi untuk Syubrumah.” (HR. Ibnu Majah no. 2903, Abu Daud 1811, Ibnu Khuzaimah 3039, Ibnu Hibban 962. Sanad hadits ini dho’if, Ibnu Abi ‘Urubah adalah perowi ‘an-‘anah. Sedangkan Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).

2- Qodho’ puasa wajib

Dalam hadits ‘Aisyah disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya.” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147) Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris (Lihat Tawdhihul Ahkam, 3: 525).

3- Utang (qodho’) nadzar

Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan,
إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ
“Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum ditunaikan).” Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,
اقْضِهِ عَنْهَا
Tunaikanlah nadzar ibumu.” (HR. Bukhari no. 2761 dan Muslim no. 1638)

4- Sedekah atas nama mayit

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.” (HR. Bukhari no. 2756).
Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin. Lihat Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 24: 314.

5- Amalan sholih dari anak yang sholih

Segala amalan sholih yang dilakukan oleh anak yang sholih akan bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Di antara yang diusahakan oleh manusia adalah anak yang sholih.
Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.” (HR. Abu Daud no. 3528 dan An Nasa-i no. 4451. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.

6- Do’a untuk mayit

Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfaat bagi si mayit, baik dari anaknya, orang yang melakukan shalat jenazah untuknya, dan kaum muslimin secara umum. Dalilnya adalah keumuman firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”.” (QS. Al Hasyr: 10). Ayat ini menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia.
Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi”.” (HR. Muslim no. 2733, dari Ummu Ad Darda’). Do’a kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia adalah di antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak mengetahuinya.

7- Do’a anak yang sholih, sedekah jariyah dan ilmu yang diambil manfaatnya

Dalam hadits disebutkan,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631).
Pembahasan selengkapnya sudah dibahas di Rumaysho.com dalam artikel Amalan yang Bermanfaat bagi Mayit.

Renungan bagi Syafi’iyah

Salah seorang ulama Syafi’i, Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata mengenai firman Allah Ta’ala,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”,
ومن هذه الآية استنبط الشافعي ومن تبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى ؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم ، ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه، ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماء ، ولم ينقل عن أحد من الصحابة رضي الله عنهم ، ولو كان خيراً لسبقونا إليه وباب القربات يقتصر فيه على النصوص ، ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء ، فأما الدعاء والصدقة ، فذاك مجمع على وصولها ومنصوصٌ من الشارع عليها
Dari ayat ini Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa bacaan Qur’an tidak sampai pahalanya pada mayit karena bacaan tersebut bukan amalan si mayit dan bukan usahanya. Oleh karena itu, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menganjurkan umatnya dan tidak memotivasi mereka untuk melakukan hal tersebut. Tidak ada nash (dalil) dan tidak ada bukti otentik yang memuat anjuran tersebut. Begitu pula tidak ada seorang sahabat Nabi -radhiyallahu ‘anhum- pun yang menukilkan ajaran tersebut pada kita. Law kaana khoiron la-sabaquna ilaih (Jika amalan tersebut baik, tentu para sahabat lebih dahulu melakukannya). Dalam masalah ibadah (qurobat) hanya terbatas pada dalil, tidak bisa dipakai analogi dan qiyas. Adapun amalan do’a dan sedekah, maka para ulama sepakat akan sampainya (bermanfaatnya) amalan tersebut dan didukung pula dengan dalil (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 13: 279).
Semoga Allah memberi hidayah dan taufik untuk beramal sholih sesuai tuntunan Nabi kita Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam.

Friday, 4 September 2015

Kisah Tiga Orang yang Tertutup Batu dalam Goa

Ada kisah menarik yang Gubuk pengetahuan islam.com ketengahkan di siang hari ini mengenai tiga orang di masa sebelum Islam yang pernah tertutup dalam goa gara-gara ada batu besar yang jatuh menutupi goa tersebut. Berikut kisahnya.
Dari Abu ‘Abdir Rahman, yaitu Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma, katanya: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْطَلَقَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى أَوَوُا الْمَبِيتَ إِلَى غَارٍ فَدَخَلُوهُ ، فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمُ الْغَارَ فَقَالُوا إِنَّهُ لاَ يُنْجِيكُمْ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ إِلاَّ أَنْ تَدْعُوا اللَّهَ بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ
“Ada tiga orang dari orang-orang sebelum kalian berangkat bepergian. Suatu saat mereka terpaksa mereka mampir bermalam di suatu goa kemudian mereka pun memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung lalu menutup gua itu dan mereka di dalamnya. Mereka berkata bahwasanya tidak ada yang dapat menyelamatkan mereka semua dari batu besar tersebut kecuali jika mereka semua berdoa kepada Allah Ta’aladengan menyebutkan amalan baik mereka.”
فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمُ اللَّهُمَّ كَانَ لِى أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ ، وَكُنْتُ لاَ أَغْبِقُ قَبْلَهُمَا أَهْلاً وَلاَ مَالاً ، فَنَأَى بِى فِى طَلَبِ شَىْءٍ يَوْمًا ، فَلَمْ أُرِحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَا ، فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوقَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ وَكَرِهْتُ أَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلاً أَوْ مَالاً ، فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدَىَّ أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُمَا حَتَّى بَرَقَ الْفَجْرُ ، فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا غَبُوقَهُمَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ ، فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا لاَ يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ
Salah seorang dari mereka berkata, “Ya Allah, aku mempunyai dua orang tua yang sudah sepuh dan lanjut usia. Dan aku tidak pernah memberi minum susu (di malam hari) kepada siapa pun sebelum memberi minum kepada keduanya. Aku lebih mendahulukan mereka berdua daripada keluarga dan budakku (hartaku). Kemudian pada suatu hari, aku mencari kayu di tempat yang jauh. Ketika aku pulang ternyata mereka berdua telah terlelap tidur. Aku pun memerah susu dan aku dapati mereka sudah tertidur pulas. Aku pun enggan memberikan minuman tersebut kepada keluarga atau pun budakku. Seterusnya aku menunggu hingga mereka bangun dan ternyata mereka barulah bangun ketika Shubuh, dan gelas minuman itu masih terus di tanganku. Selanjutnya setelah keduanya bangun lalu mereka meminum minuman tersebut. Ya Allah, jikalau aku mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar  mengharapkan wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi kami ini.” Batu besar itu tiba-tiba terbuka sedikit, namun mereka masih belum dapat keluar dari goa.
قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « وَقَالَ الآخَرُ اللَّهُمَّ كَانَتْ لِى بِنْتُ عَمٍّ كَانَتْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَىَّ ، فَأَرَدْتُهَا عَنْ نَفْسِهَا ، فَامْتَنَعَتْ مِنِّى حَتَّى أَلَمَّتْ بِهَا سَنَةٌ مِنَ السِّنِينَ ، فَجَاءَتْنِى فَأَعْطَيْتُهَا عِشْرِينَ وَمِائَةَ دِينَارٍ عَلَى أَنْ تُخَلِّىَ بَيْنِى وَبَيْنَ نَفْسِهَا ، فَفَعَلَتْ حَتَّى إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَا قَالَتْ لاَ أُحِلُّ لَكَ أَنْ تَفُضَّ الْخَاتَمَ إِلاَّ بِحَقِّهِ . فَتَحَرَّجْتُ مِنَ الْوُقُوعِ عَلَيْهَا ، فَانْصَرَفْتُ عَنْهَا وَهْىَ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَىَّ وَتَرَكْتُ الذَّهَبَ الَّذِى أَعْطَيْتُهَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ . فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ ، غَيْرَ أَنَّهُمْ لاَ يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهَا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, lantas orang yang lain pun berdo’a, “Ya Allah, dahulu ada puteri pamanku yang aku sangat menyukainya. Aku pun sangat menginginkannya. Namun ia menolak cintaku. Hingga berlalu beberapa tahun, ia mendatangiku (karena sedang butuh uang). Aku pun memberinya 120 dinar. Namun pemberian itu dengan syarat ia mau tidur denganku (alias: berzina). Ia pun mau. Sampai ketika aku ingin menyetubuhinya, keluarlah dari lisannya, “Tidak halal bagimu membuka cincin kecuali dengan cara yang benar (maksudnya: barulah halal dengan nikah, bukan zina).” Aku pun langsung tercengang kaget dan pergi meninggalkannya padahal dialah yang paling kucintai. Aku pun meninggalkan emas (dinar) yang telah kuberikan untuknya. Ya Allah, jikalau aku mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi kami ini.” Batu besar itu tiba-tiba terbuka lagi, namun mereka masih belum dapat keluar dari goa.
قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – وَقَالَ الثَّالِثُ اللَّهُمَّ إِنِّى اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ ، غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِى لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَّرْتُ أَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ الأَمْوَالُ ، فَجَاءَنِى بَعْدَ حِينٍ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَدِّ إِلَىَّ أَجْرِى . فَقُلْتُ لَهُ كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرِكَ مِنَ الإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيقِ . فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ لاَ تَسْتَهْزِئْ بِى . فَقُلْتُ إِنِّى لاَ أَسْتَهْزِئُ بِكَ . فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ . فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوا يَمْشُونَ »
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, lantas orang ketiga berdo’a, “Ya Allah, aku dahulu pernah mempekerjakan beberapa pegawai lantas aku memberikan gaji pada mereka. Namun ada satu yang tertinggal yang tidak aku beri. Malah uangnya aku kembangkan hingga menjadi harta melimpah. Suatu saat ia pun mendatangiku. Ia pun berkata padaku, “Wahai hamba Allah, bagaimana dengan upahku yang dulu?” Aku pun berkata padanya bahwa setiap yang ia lihat itulah hasil upahnya dahulu (yang telah dikembangkan), yaitu ada unta, sapi, kambing dan budak. Ia pun berkata, “Wahai hamba Allah, janganlah engkau bercanda.” Aku pun menjawab bahwa aku tidak sedang bercanda padanya. Aku lantas mengambil semua harta tersebut dan menyerahkan padanya tanpa tersisa sedikit pun. Ya Allah, jikalau aku mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi kami ini”. Lantas goa yang tertutup sebelumnya pun terbuka, mereka keluar dan berjalan. (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 2272 dan Muslim no. 2743)

Beberapa faedah dari hadits di atas:

1- Disyari’atkan berdo’a dengan menyebutkan amalan sholih dan ini termasuk bentuk tawassul (mengambil perantara dalam do’a) yang dibolehkan.
2- Keutamaan berbakti pada orang tua, di antaranya bakti pada orang tua menyebabkan seseorang selamat dari musibah.
3- Keutamaan mendahulukan bakti pada orang tua daripada istri, anak dan budak.
4- Diperintahkan banyak berdo’a pada Allah dalam keadaan sulit dengan bertawassul pada Allah melalui amalan sholih.
5- Keutamaan menjaga diri dari terjerumus dalam perkara yang diharamkan semisal zina.
6- Keutamaan bagi orang yang bisa menyelamatkan dirinya dari zina dengan segera menikah.
7- Keutamaan orang yang meninggal zina karena takut pada Allah.
8- Kemaluan wanita barulah halal dengan menikah.
9- Bolehnya mengupahi orang lain dalam suatu pekerjaan.
10- Keutamaan memenuhi perjanjian seperti dalam hal menunaikan gaji.
11- Keutamaan menunaikan amanat dan berbuat baik dalam muamalah.
12- Adanya karomah wali Allah.
13- Ikhlas dalam beramal menyebabkan selamat dari kesulitan yang menimpa karena dalam hadits disebutkan “Ya Allah, jikalau aku mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar  mengharapkan wajah-Mu”.
14- Diperintahkan berdo’a pada Allah dengan kesungguhan dan ikhlas saat tertimpa kesulitan, ditambah dengan menyebutkan amalan sholih.
15- Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Melakukan ketaatan memudahkan terkabulnya do’a. Oleh karenanya pada kisah tiga orang  yang masuk dan tertutup dalam suatu goa, batu besar yang menutupi mereka menjadi terbuka karena sebab amalan yang mereka sebut. Di mana mereka melakukan amalan tersebut ikhlas karena Allah Ta’ala. Mereka berdo’a pada Allah dengan menyebut amalan sholeh tersebut sehingga doa mereka pun terkabul.” (Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 275-276)
16- Allah tidak menyia-nyiakan balasan bagi orang yang berbuat amalan kebaikan.
Semoga kita bisa mengambil teladan dari kisah ini. Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:

Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhish Sholihin, Dr. Musthofa Al Bugho, dll, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1432 H.
Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi, terbitan Dar Ihya’ At Turots.
Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali.

Wednesday, 2 September 2015

Masuk Surga Bukan dengan Amalan, Benarkah?

Kita masuk surga bukan dengan amalan kita, benarkah?
Dalam hadits disebutkan,
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ » . قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لاَ ، وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِى اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ
Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.” “Engkau juga tidak wahai Rasulullah?”, tanya beberapa sahabat. Beliau menjawab, “Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.” (HR. Bukhari no. 5673 dan Muslim no. 2816)
Sedangkan firman Allah Ta’ala,
سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Rabbmu dan surga yang lebarnya selebar langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al Hadiid: 21). Dalam ayat ini dinyatakan bahwa surga itu disediakan bagi orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Berarti ada amalan.
Begitu pula dalam ayat,
ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. An-Nahl: 32)
وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Az-Zukhruf: 72)
Seakan-akan ayat dan hadits itu bertentangan. Ayat menyatakan, kita masuk surga karena amalan dan keimanan kita. Sedangkan hadits menyatakan, faktor terbesar masuk surga adalah karena karunia Allah.
Ada beberapa penjelasan para ulama mengenai hal ini:
  • Yang dimaksud seseorang tidak masuk surga dengan amalnya adalah peniadaan masuk surga karena amalan.
  • Amalan itu sendiri tidak bisa memasukkan orang ke dalam surga. Kalau bukan karena karunia dan rahmat Allah, tentu tidak akan bisa memasukinya. Bahkan adanya amalan juga karena sebab rahmat Allah bagi hamba-Nya.
  • Amalan hanyalah sebab tingginya derajat seseorang di surga, namun bukan sebab seseorang masuk ke dalam surga.
  • Amalan yang dilakukan hamba sama sekali tidak bisa mengganti surga yang Allah beri. Itulah yang dimaksud, seseorang tidak memasuki surga dengan amalannya. Maksudnya ia tidak bisa ganti surga dengan amalannya. Sedangkan yang memasukkan seseorang ke dalam surga hanyalah rahmat dan karunia Allah. (Disarikan dari Bahjah An-Nazhirin, Salim bin ‘Ied Al Hilali, Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, 1430 H, 3: 18-19).
Imam Nawawi rahimahullah memberikan keterangan yang sangat bagus, “Ayat-ayat Al-Qur’an yang ada menunjukkan bahwa amalan bisa memasukkan orang dalam surga. Maka tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang ada. Bahkan makna ayat adalah masuk surga itu disebabkan karena amalan. Namun di situ ada taufik dari Allah untuk beramal. Ada hidayah untuk ikhlas pula dalam beramal. Maka diterimanya amal memang karena rahmat dan karunia Allah. Karenanya, amalan semata tidak memasukkan seseorang ke dalam surga. Itulah yang dimaksudkan dalam hadits. Kesimpulannya, bisa saja kita katakan bahwa sebab masuk surga adalah karena ada amalan. Amalan itu ada karena rahmat Allah. Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, 14: 145)
Jadi kita masuk surga bukan semata-mata dengan amalan kita. Amalan kita itu bisa ada karena taufik Allah. Taufik Allah itulah karunia dan rahmat-Nya. Jadinya, amalan itu ada karena karunia dan rahmat-Nya.
Bersyukurlah jika kita termasuk orang yang dimudahkan dalam beramal.
Hanya Allah yang memberi taufik.